Selasa, 06 November 2012

Disleksia, disgrafia dan Diskalkulia



DISLEKSIA, DISGRAFIA DAN DISKALKULIA


1.        DISLEKSIA
Tahukah Anda bahwa dyslexia (disleksia dalam bahasa Indonesia) adalah penyebab yang paling umum dari masalah kesulitan mengeja, membaca dan menulis? Bagaimana kita membantu anak-anak mengatasi kesulitan-kesulitan ini agar berhasil di sekolah? Informasi-informasi berikut ini bertujuan membantu orang tua, guru, dan terapis mengerti dyslexia dan membantu anak/murid mengembangkan kecintaan membaca dan menulis.
Disleksia berasal dari kata Yunani yaitu “dys” yang berarti kesulitan dan “leksia” yang berarti kata-kata. Dengan kata lain, disleksia berarti kesulitan dalam mengolah kata-kata. Ketua Pelaksana Harian Asosiasi Disleksia Indonesia dr Kristiantini Dewi, Sp A, menjelaskan, disleksia merupakan kelainan dengan dasar kelainan neurobiologis dan ditandai dengan kesulitan dalam mengenali kata dengan tepat atau akurat dalam pengejaan dan dalam kemampuan mengode simbol. Terdapat dua macam disleksia, yaitu developmental dyslexia dan acquired dyslexia.
Developmental Dyslexia merupakan bawaan sejak lahir dan karena faktor genetis atau keturunan. Penyandang disleksia akan membawa kelainan ini seumur hidupnya atau tidak dapat disembuhkan. Tidak hanya mengalami kesulitan membaca, mereka juga mengalami hambatan mengeja, menulis, dan beberapa aspek bahasa yang lain. Meski demikian, anak-anak penyandang disleksia memiliki tingkat kecerdasan normal atau bahkan di atas rata-rata. Dengan penanganan khusus, hambatan yang mereka alami bisa diminimalkan.
“Disleksia itu menurut penelitian sekitar 70 persen merupakan keturunan. Namun, sisanya 30 persen, berarti ada faktor lain di luar genetis yang hingga saat ini belum diketahui apa itu penyebabnya. Selain karena keturunan, acquired dyslexia itu awalnya individu normal, tetapi menjelang dewasa mengalami cedera otak sebelah kiri dan bisa menyebabkannya menjadi disleksia,” kata Kristiantini dalam Seminar Nasional Disleksia, Sabtu (31/7/2010) di Jakarta.
Sejumlah ahli juga mendefinisikan disleksia sebagai suatu kondisi pemrosesan input atau informasi yang berbeda (dari anak normal) yang sering kali ditandai dengan kesulitan dalam membaca yang dapat memengaruhi area kognisi, seperti daya ingat, kecepatan pemrosesan input, kemampuan pengaturan waktu, aspek koordinasi, dan pengendalian gerak. Dapat juga terjadi kesulitan visual dan fonologis, dan biasanya terdapat perbedaan kemampuan di berbagai aspek perkembangan.
Masalah yang juga bisa mengikuti penyandang disleksia di antaranya konsentrasi, daya ingat jangka pendek (cepat lupa dengan instruksi). “Penyandang disleksia juga mengalami masalah dalam pengorganisasian. Mereka cenderung tidak teratur. Misalnya, memakai sepatu tetapi lupa memakai kaus kaki. Masalah lainnya, kesulitan dalam penyusunan atau pengurutan, entah itu hari, angka, atau huruf,” papar Kristiantini yang juga seorang dokter anak.
Secara lebih detail, seperti dikutip dari www.dyslexia-indonesia.org, penyandang disleksia biasanya mengalami masalah-masalah, seperti :
a.       Masalah fonologi: Yang dimaksud masalah fonologi adalah hubungan sistematik antara huruf dan bunyi. Misalnya mereka mengalami kesulitan membedakan ”paku” dengan ”palu”; atau mereka keliru memahami kata-kata yang mempunyai bunyi hampir sama, misalnya ”lima puluh” dengan ”lima belas”. Kesulitan ini tidak disebabkan masalah pendengaran, tetapi berkaitan dengan proses pengolahan input di dalam otak.
b.      Masalah mengingat perkataan: Kebanyakan anak disleksia mempunyai level kecerdasan normal atau di atas normal. Namun, mereka mempunyai kesulitan mengingat perkataan. Mereka mungkin sulit menyebutkan nama teman-temannya dan memilih untuk memanggilnya dengan istilah “temanku di sekolah” atau “temanku yang laki-laki itu”. Mereka mungkin dapat menjelaskan suatu cerita, tetapi tidak dapat mengingat jawaban untuk pertanyaan yang sederhana.
c.       Masalah penyusunan yang sistematis atau berurut: Anak disleksia mengalami kesulitan menyusun sesuatu secara berurutan misalnya susunan bulan dalam setahun, hari dalam seminggu, atau susunan huruf dan angka. Mereka sering ”lupa” susunan aktivitas yang sudah direncanakan sebelumnya, misalnya lupa apakah setelah pulang sekolah langsung pulang ke rumah atau langsung pergi ke tempat latihan sepak bola. Padahal, orangtua sudah mengingatkannya bahkan mungkin hal itu sudah pula ditulis dalam agenda kegiatannya. Mereka juga mengalami kesulitan yang berhubungan dengan perkiraan terhadap waktu. Misalnya mereka mengalami kesulitan memahami instruksi seperti ini: ”Waktu yang disediakan untuk ulangan adalah 45 menit. Sekarang pukul 08.00. Maka 15 menit sebelum waktu berakhir, Ibu Guru akan mengetuk meja satu kali”. Kadang kala mereka pun ”bingung” dengan perhitungan uang yang sederhana, misalnya mereka tidak yakin apakah uangnya cukup untuk membeli sepotong kue atau tidak.
d.      Masalah ingatan jangka pendek: Anak disleksia mengalami kesulitan memahami instruksi yang panjang dalam satu waktu yang pendek. Misalnya ibu menyuruh anak untuk “Simpan tas di kamarmu di lantai atas, ganti pakaian, cuci kaki dan tangan, lalu turun ke bawah lagi untuk makan siang bersama ibu, tapi jangan lupa bawa serta buku PR Matematikanya, ya”, maka kemungkinan besar anak disleksia tidak melakukan seluruh instruksi tersebut dengan sempurna karena tidak mampu mengingat seluruh perkataan ibunya.
e.       Masalah pemahaman sintaks: Anak disleksia sering mengalami kebingungan dalam memahami tata bahasa, terutama jika dalam waktu yang bersamaan mereka menggunakan dua atau lebih bahasa yang mempunyai tata bahasa yang berbeda. Anak disleksia mengalami masalah dengan bahasa keduanya apabila pengaturan tata bahasanya berbeda daripada bahasa pertama. Misalnya dalam bahasa Indonesia dikenal susunan diterangkan–menerangkan (contoh: tas merah). Namun, dalam bahasa Inggris dikenal susunan menerangkan-diterangkan (contoh: red bag).

Penyebab dyslexia
Dyslexia adalah suatu masalah kesulitan belajar khusus. Dyslexia mempengaruhi kemampuan seseorang untuk belajar, mengolah, dan mengerti suatu informasi dengan baik. Secara khusus, hal ini menyebabkan masalah dalam membaca dan menulis karena seseorang dengan problem dyslexia mempunyai kesulitan mengenali dan mengartikan suatu kata, mengerti isi suatu bacaan, dan mengenali bunyi. Tentunya ini menghambat kemampuan seorang anak untuk belajar membaca, bahkan jika anak mempunyai intelegensia normal dan instruksi yang jelas. Dyslexia mempengaruhi 15-20% dari populasi, dan terjadi pada laki-laki dua kali lebih banyak dari pada perempuan.
Penyebab dari dyslexia secara umum bisa jadi dari genetika, namun penyebab lain yang tidak umum adalah cedera pada kepala atau trauma. Beberapa anak dyslexia ternyata memproses informasi menggunakan area yang berbeda pada otak dibanding anak-anak tanpa kesulitan belajar. Walaupun begitu, ini bukan merupakan karakteristik pada semua anak dyslexia. Beberapa type dyslexia bisa menunjukkan perbaikan sejalan bertambahnya usia anak.

2.        DISGRAFIA
Disgrafia adalah Kesulitan khusus di mana anak tidak bisa menuliskan/ mengekspresikan pikirannya ke dalam bentuk tulisan, karena mereka tidak bisa menyusun huruf/kata dengan baik dan mengkoordinasikan motorik halusnya (tangan) untuk menulis. Pada anak-anak umumnya, kesulitan ini bisa terlihat saat anak mulai belajar menulis. Kesulitan ini tidak tergantung kemampuan lainnya. Seseorang bisa sangat fasih dalam berbicara dan keterampilan motorik lainnya, tapi mempunyai kesulitan menulis.
Dysgraphia/Disgrafia adalah learning disorder dengan ciri perifernya berupa ketidakmampuan menulis, terlepas dari kemampuan anak dalam membaca maupun tingkat intelegensianya. Jika kita mengacu pada DSM IV, maka disgrafia diidentifikasi sebagai keterampilan menulis yang secara terus-menerus berada di bawah ekspektasi jika dibandingkan usia anak dan tingkat intelegensianya.Masalah disgrafia ini sering muncul pada kalangan anak-anak yang mengalami kesulitan dalam belajar. Disgrafia adalah maslah pembelajaran spesifik yang berdampak pada kesulitan dalam menyampaikan hal yang ada dlam pikiran dalam bentuk tulisan, masih belum dapat ditentukan penyebabnya dengan jelas. Apabila anak-anak mempunyai masalah yang serius dalam hal tulisan, ia dianggap sebagai anak penderit disgrafia. Tetapi mungkin tidak perlu memerlukan penanganan khusus, kebanyakan anak-anak yang memiliki masalah juga mengalami disgrafia.

Penyebab Disgrafia
Anak-anak dengan maslah disgrafia biasanya mempunyai masalah dalam proses informasi yang dapat menyebabkan terjadinya masalah dalam pengamatan, yaitu anak-anak menulis dengan terbalik, tidak menulis dengan susunan yang benar, dan bentuk tulisann yang buruk. Mereka menghadapi masalah dalam memahami huruf dan penjelasan lisan yang berurutan, akibatnya mereka menulis dengan perlahan dan lambat. Disamping itu merekapun mengalami kesulitan dalam membaca struktur tulisan, seperti ejaan, tanda baca, dan sebagainya. Mereka juga biasanya menukar-nukar huruf dengan nomor dalam mengoprasikan rumus.
Anak-anak yang memiliki masalah dalam konsentrasi (hyperactive atau attention deficit disorder) biasanya mengalami kesuitan dalam emnulis, ini karena mereka juga mengalami masalah dalam mengatur dan menyusun informasi. Mereka juga terlalu cepat dan berkoordinasi denagn fungsi motorik halus.
Ada juga anak-anak yang mengalami maslah disgrafia karena kelemahan dlam proses pendengaran dan berbahas, mereka biasanya menghadapi masalah dalam ekspresi bahasa yang selanjutnya akan menyulitkan mereka untuk mengekspresikannya dalam bentuk tulisan.
Beberapa anak mengalami gangguan dalam menulis. Kesulitan menulis ini disebut "disgrafia". Ada beberapa ciri khusus anak dengan gangguan disgrafia, di antaranya adalah:
a.       Terdapat ketidakkonsistenan bentuk huruf dalam tulisannya;
b.      Saat menulis, penggunaan huruf besar dan huruf kecil masih tercampur;
c.       Ukuran dan bentuk huruf dalam tulisannya tidak proporsional;
d.      Anak tampak harus berusaha keras saat mengomunikasikan suatu ide, pengetahuan, atau pemahamannya lewat tulisan;
e.       Sulit memegang bolpoin maupun pensil dengan mantap -- caranya memegang alat tulis sering kali terlalu dekat, bahkan hampir menempel dengan kertas;
f.       Berbicara pada diri sendiri ketika sedang menulis, atau malah terlalu memerhatikan tangan yang dipakai untuk menulis;
g.      Cara menulis tidak konsisten, tidak mengikuti alur garis yang tepat dan proporsional; dan
h.      Tetap mengalami kesulitan meskipun hanya diminta menyalin contoh tulisan yang sudah ada.
Teori konstruksi sosial Vygotsky (Santroks:2004) memiliki tiga asumsi, yaitu:
a.       kemampuan kognitif anak dapat dipahami hanya ketika mereka mampu menganalisa dan menginterpretasikan sesuatu;
b.      kemampuan kognitif anak dimediasi oleh penggunaan bahasa atau kata-kata sebagai alat untuk mentransformasi dan memfasilitasi aktivitas mental; dan
c.       kemampuan kognitif berkaitan dengan hubungan sosial dan latar belakang sosial budaya.
Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut, Vygotsky mengemukakan tiga konsep belajar sebagai berikut.
a.       Zone of Proximal Development (ZPD), yaitu suatu wilayah (range) antara level terendah, yaitu kemampuan yang dapat diraih anak jika tanpa bimbingan, hingga level tertinggi, yaitu kemampuan yang dapat diraih anak jika dengan bimbingan.
b.      Scaffolding, yaitu teknik untuk mengubah tingkat dukungan.
c.       Language and thought.
Aplikasi teori Vygotsky dapat digunakan guru dan orang tua untuk membantu anak yang mengalami disgrafia.
Langkah-langkah yang dapat dilakukan meliputi:
a.       Mengidentifikasi masalah disgrafia, terdiri dari:
o  masalah penggunaan huruf kapital,
o  ketidakkonsistenan bentuk huruf,
o  alur yang tidak stabil (tulisan naik turun), dan
o  ukuran dan bentuk huruf tidak konsisten.
b.      Menentukan ZPD pada masing-masing masalah tersebut.
o  ZPD untuk kesalahan penggunaan huruf kapital.
o  ZPD untuk ketidakkonsistenan bentuk huruf.
o  ZPD untuk ketidakkonsistenan ukuran huruf.
o  ZPD untuk ketidakstabilan alur tulisan.
c.       Merancang program pelatihan dengan teknik scaffolding. Teknik scaffolding dalam pelatihan ini meliputi tahapan sebagai berikut.
o  Memberikan tugas menulis kalimat yang didiktekan orang tua/guru.
o  Bersama-sama dengan siswa mengidentifikasi kesalahan tulisan mereka.
o  Menjelaskan mengenai pelatihan dan ZPD masing-masing permasalahan.
o  Menjelaskan kriteria penulisan yang benar dan meminta anak menyatakan kembali kriteria tersebut.
o  Memberikan latihan menulis dengan orang tua/guru memberikan bantuan.
o  Mengevaluasi hasil pekerjaan siswa bersama-sama dengan anak.
o  Memberikan latihan menulis dengan mengurangi bantuan terbatas pada kesalahan yang banyak dilakukan anak.
o  Mengevaluasi hasil pekerjaan bersama-sama dengan anak.
o  Memberikan latihan menulis tanpa bantuan orang tua/guru.
o  Mengevaluasi pekerjaan anak.
Pelatihan tersebut diulang-ulang pada tiap-tiap kesalahan disgrafia yang dialami anak hingga terdapat perubahan.


3.        DISKALKULIA
Menurut Jacinta F. Rini, M.Psi, dari Harmawan Consulting, Jakarta, diskalkulia dikenal juga dengan istilah “math difficulty” karena menyangkut gangguan pada kemampuan kalkulasi secara matematis. Kesulitan ini dapat ditinjau secara kuantitatif yang terbagi menjadi bentuk kesulitan berhitung (counting) dan mengkalkulasi (calculating). Anak yang bersangkutan akan menunjukkan kesulitan dalam memahami proses-proses matematis. Hal ini biasanya ditandai dengan munculnya kesulitan belajar dan mengerjakan tugas yang melibatkan angka ataupun simbol matematis.
Kesulitan belajar matematika disebut juga diskalkulia (dyscalculis). Kesulitan belajar matematika merupakan salah satu jenis kesulitan belajar yang spesifik dengan prasyarat rata-rata normal atau sedikit dibawah rata-rata, tidak ada gangguan penglihatan atau pendengaran, tidak ada gangguan emosional primer, atau lingkungan yang kurang menunjang. masalah yang dihadapi yaitu sulit melakukan penambahan, pengurangan, perkalian dan pembagian yang disebabkab adanya gangguan pada sistem saraf pusat pada periode perkembangan. Anak berkesulitan belajar matematika bukan tidak mampu belajar, tetapi mengalami kesulitan tertentu yang menjadikannya tidak siap belajar. Matematika sering menjadi pelajaran yang paling ditakuti di sekolah. Anak dengan gangguan diskalkulia disebabkan oleh ketidakmampuan mereka dalam membaca, imajinasi, mengintegrasikan pengetahuan dan pengalaman, terutama dalam memahami soal-soal cerita. Anak-anak diskalkulia tidak bisa mencerna sebuah fenomena yang masih abstrak. Biasanya sesuatu yang abstrak itu harus divisualisasikan atau dibuat konkret, baru mereka bisa mencerna. selain itu anak berkesulitan belajar matematika dikarenakan pengelolaan kegiatan belajar yang tidak membangkitkan motivasi belajar siswa, metode pembelajaran yang cenderung menggunakan cara konvesional, ceramah dan tugas. Guru kurang mampu memotivasi anak didiknya. Ketidaktepatan dalam memberikan pendekatan atau strategi pembelajaran.
Deteksi diskalkulia bisa dilakukan sejak kecil, tapi juga disesuaikan dengan perkembangan usia. Anak usia 4- 5 tahun biasanya belum diwajibkan mengenal konsep jumlah, hanya konsep hitungan Sementara anak usia 6 tahun ke atas umumnya sudah mulai dikenalkan dengan konsep jumlah yang menggunakan simbol seperti penambahan (+) dan pengurangan (-). Jika pada usia 6 tahun anak sulit mengenali konsep jumlah, maka kemungkinan nantinya dia akan mengalami kesulitan berhitung. Proses berhitung melibatkan pola pikir serta kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah. Faktor genetik mungkin berperan pada kasus diskalkulia, tapi faktor lingkungan dan simulasi juga bisa ikut menentukan. Alat peraga juga sangat bagus untuk digunakan, karena dalam matematika menggunakan simbol-simbol yang bersifat abstrak. Jadi, supaya lebih konkret digunakan alat peraga sehingga anak lebih mudah mengenal konsep matematika itu sendiri.

Penyebab Diskalkulia
Masalah diskalkulia adalah masalah yang memberi dampak terhadap operasi perhitungan dalam matematika. Diskalkulia disebabkan oleh beberapa faktor. Diantaranyadalah proses pengamatan., yaitu anak-anak tidak dapat mengamati nomor dan matematika secara keseluruhan. Mereka sering mengalami masalah dalam mengenal nomor. Masalah yang lain adalah dalam aspek penyusunan. Masalah yang disebabkan fungsi fisiologis tubuh :
a.       Diskalkulia berkorelasi dengan luka pada area spesifik otak yaitu: supramarginal dan angular gyri yang menjembatani lobus temporal dan parietal pada kulit otak.
b.       Diskalkulia berkorelasi dengan deficit pada kemampuan memori jangka pendek.
c.        Anak dengan gejala diskalkulia berkecenderungan untuk memiliki anggota keluarga dengan gejala yang sama.

Penanganan Diskalkulia
Penangani diskalkulia dapat menggunakan terapi dan pendidikan remidial dengan tujuan untuk menyisihkan masalah yang dihadapi sehingga dapat membantu mencapai potensi anak secara maksimal. Sehingga menanganinya harus berdasarkan tingkat kesulitan atau defisit yang sesuai dengan usianya.Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menangani diskalkulia, antara lain:
a.       Gunakan gambar, grafik, atau kata-kata§ untuk membantu pemahaman anak. Misalnya, ibu membeli jeruk seharga lima §ribu, gambarkan buah jeruk dan uang kertas senilai lima ribu. Hubungkan konsep matematika dengan kehidupan sehari-hari. Misalnya ketika menghitung piring sehabis makan atau mengelompokkan benda sesuai dengan warna lalu menjumlahkannya dapat mempermudah anak berhitung.
b.      Buat pelajaran matematika menjadi sesuatu yang menarik. Anda bisa menggunakan media komputer atau kalkulator. Lakukan latihan secara kontinyu dan teratur.Cara mengatasi diskalkulia bisa dengan cara mengubah pembelajaran supaya memori bisa hidup kembali. Misalkan, penggunaan warna-warna yang melambangkan angka. Kelainan diskalkulia juga bisa berkomplikasi dengan kelainan lain, misalnya autis. Anak-anak dengan kesulitan belajar belum tentu bodoh, tapi bisa jadi dia mengalami kelainan komunikasi, sosialisasi, dan kreativitas seperti yang terjadi pada anak autis, Diskalkulia juga terkadang dikaitkan dengan ketidakseimbangan orientasi otak kanan dan kiri yang imbasnya menimbulkan kesulitan orientasi matematika. Aktivitas fisik diduga ada hubungannya dengan anak yang kesulitan geometri atau bangun ruang. Ada juga yang mengatakan bahwa diskalkulia terkait dengan kelainan pada motorik sehingga terapi bisa diberikan untuk memperbaiki saraf motoriknya.