DISLEKSIA, DISGRAFIA DAN DISKALKULIA
1.
DISLEKSIA
Tahukah
Anda bahwa dyslexia (disleksia dalam bahasa Indonesia) adalah
penyebab yang paling umum dari masalah kesulitan mengeja, membaca dan menulis?
Bagaimana kita membantu anak-anak mengatasi kesulitan-kesulitan ini agar
berhasil di sekolah? Informasi-informasi berikut ini bertujuan membantu orang
tua, guru, dan terapis mengerti dyslexia dan membantu anak/murid mengembangkan
kecintaan membaca dan menulis.
Disleksia
berasal dari kata Yunani yaitu “dys” yang berarti kesulitan dan “leksia” yang
berarti kata-kata. Dengan kata lain, disleksia berarti kesulitan dalam mengolah
kata-kata. Ketua Pelaksana Harian Asosiasi Disleksia Indonesia dr Kristiantini
Dewi, Sp A, menjelaskan, disleksia merupakan kelainan dengan dasar kelainan
neurobiologis dan ditandai dengan kesulitan dalam mengenali kata dengan tepat
atau akurat dalam pengejaan dan dalam kemampuan mengode simbol. Terdapat dua
macam disleksia, yaitu developmental dyslexia dan acquired
dyslexia.
Developmental
Dyslexia merupakan bawaan sejak lahir dan karena faktor genetis atau
keturunan. Penyandang disleksia akan membawa kelainan ini seumur hidupnya atau
tidak dapat disembuhkan. Tidak hanya mengalami kesulitan membaca, mereka juga
mengalami hambatan mengeja, menulis, dan beberapa aspek bahasa yang lain. Meski
demikian, anak-anak penyandang disleksia memiliki tingkat kecerdasan normal
atau bahkan di atas rata-rata. Dengan penanganan khusus, hambatan yang mereka
alami bisa diminimalkan.
“Disleksia
itu menurut penelitian sekitar 70 persen merupakan keturunan. Namun, sisanya 30
persen, berarti ada faktor lain di luar genetis yang hingga saat ini belum
diketahui apa itu penyebabnya. Selain karena keturunan, acquired dyslexia itu
awalnya individu normal, tetapi menjelang dewasa mengalami cedera otak sebelah
kiri dan bisa menyebabkannya menjadi disleksia,” kata Kristiantini dalam
Seminar Nasional Disleksia, Sabtu (31/7/2010) di Jakarta.
Sejumlah ahli
juga mendefinisikan disleksia sebagai suatu kondisi pemrosesan input atau
informasi yang berbeda (dari anak normal) yang sering kali ditandai dengan
kesulitan dalam membaca yang dapat memengaruhi area kognisi, seperti daya
ingat, kecepatan pemrosesan input, kemampuan pengaturan waktu, aspek
koordinasi, dan pengendalian gerak. Dapat juga terjadi kesulitan visual dan
fonologis, dan biasanya terdapat perbedaan kemampuan di berbagai aspek
perkembangan.
Masalah
yang juga bisa mengikuti penyandang disleksia di antaranya konsentrasi, daya
ingat jangka pendek (cepat lupa dengan instruksi). “Penyandang disleksia juga
mengalami masalah dalam pengorganisasian. Mereka cenderung tidak teratur.
Misalnya, memakai sepatu tetapi lupa memakai kaus kaki. Masalah lainnya,
kesulitan dalam penyusunan atau pengurutan, entah itu hari, angka, atau huruf,”
papar Kristiantini yang juga seorang dokter anak.
Secara
lebih detail, seperti dikutip dari www.dyslexia-indonesia.org,
penyandang disleksia biasanya mengalami masalah-masalah, seperti :
a.
Masalah fonologi: Yang dimaksud masalah
fonologi adalah hubungan sistematik antara huruf dan bunyi. Misalnya mereka
mengalami kesulitan membedakan ”paku” dengan ”palu”; atau mereka keliru
memahami kata-kata yang mempunyai bunyi hampir sama, misalnya ”lima puluh”
dengan ”lima belas”. Kesulitan ini tidak disebabkan masalah pendengaran, tetapi
berkaitan dengan proses pengolahan input di dalam otak.
b.
Masalah mengingat perkataan: Kebanyakan
anak disleksia mempunyai level kecerdasan normal atau di atas normal. Namun, mereka
mempunyai kesulitan mengingat perkataan. Mereka mungkin sulit menyebutkan nama
teman-temannya dan memilih untuk memanggilnya dengan istilah “temanku di
sekolah” atau “temanku yang laki-laki itu”. Mereka mungkin dapat menjelaskan
suatu cerita, tetapi tidak dapat mengingat jawaban untuk pertanyaan yang
sederhana.
c.
Masalah penyusunan yang sistematis atau berurut:
Anak disleksia mengalami kesulitan menyusun sesuatu secara berurutan misalnya
susunan bulan dalam setahun, hari dalam seminggu, atau susunan huruf dan angka.
Mereka sering ”lupa” susunan aktivitas yang sudah direncanakan sebelumnya,
misalnya lupa apakah setelah pulang sekolah langsung pulang ke rumah atau
langsung pergi ke tempat latihan sepak bola. Padahal, orangtua sudah
mengingatkannya bahkan mungkin hal itu sudah pula ditulis dalam agenda
kegiatannya. Mereka juga mengalami kesulitan yang berhubungan dengan perkiraan
terhadap waktu. Misalnya mereka mengalami kesulitan memahami instruksi seperti
ini: ”Waktu yang disediakan untuk ulangan adalah 45 menit. Sekarang pukul
08.00. Maka 15 menit sebelum waktu berakhir, Ibu Guru akan mengetuk meja satu
kali”. Kadang kala mereka pun ”bingung” dengan perhitungan uang yang sederhana,
misalnya mereka tidak yakin apakah uangnya cukup untuk membeli sepotong kue
atau tidak.
d.
Masalah ingatan jangka pendek: Anak
disleksia mengalami kesulitan memahami instruksi yang panjang dalam satu waktu
yang pendek. Misalnya ibu menyuruh anak untuk “Simpan tas di kamarmu di lantai
atas, ganti pakaian, cuci kaki dan tangan, lalu turun ke bawah lagi untuk makan
siang bersama ibu, tapi jangan lupa bawa serta buku PR Matematikanya, ya”, maka
kemungkinan besar anak disleksia tidak melakukan seluruh instruksi tersebut
dengan sempurna karena tidak mampu mengingat seluruh perkataan ibunya.
e.
Masalah pemahaman sintaks: Anak disleksia
sering mengalami kebingungan dalam memahami tata bahasa, terutama jika dalam
waktu yang bersamaan mereka menggunakan dua atau lebih bahasa yang mempunyai
tata bahasa yang berbeda. Anak disleksia mengalami masalah dengan bahasa
keduanya apabila pengaturan tata bahasanya berbeda daripada bahasa pertama.
Misalnya dalam bahasa Indonesia dikenal susunan diterangkan–menerangkan
(contoh: tas merah). Namun, dalam bahasa Inggris dikenal susunan
menerangkan-diterangkan (contoh: red bag).
Penyebab
dyslexia
Dyslexia adalah suatu masalah kesulitan
belajar khusus. Dyslexia mempengaruhi kemampuan seseorang untuk belajar,
mengolah, dan mengerti suatu informasi dengan baik. Secara khusus, hal ini
menyebabkan masalah dalam membaca dan menulis karena seseorang dengan problem
dyslexia mempunyai kesulitan mengenali dan mengartikan suatu kata, mengerti isi
suatu bacaan, dan mengenali bunyi. Tentunya ini menghambat kemampuan seorang
anak untuk belajar membaca, bahkan jika anak mempunyai intelegensia normal dan
instruksi yang jelas. Dyslexia mempengaruhi 15-20% dari populasi, dan terjadi
pada laki-laki dua kali lebih banyak dari pada perempuan.
Penyebab dari dyslexia secara umum bisa
jadi dari genetika, namun penyebab lain yang tidak umum adalah cedera pada
kepala atau trauma. Beberapa anak dyslexia ternyata memproses informasi
menggunakan area yang berbeda pada otak dibanding anak-anak tanpa kesulitan
belajar. Walaupun begitu, ini bukan merupakan karakteristik pada semua anak dyslexia.
Beberapa type dyslexia bisa menunjukkan perbaikan sejalan bertambahnya usia
anak.
2.
DISGRAFIA
Disgrafia adalah
Kesulitan khusus di mana anak tidak bisa menuliskan/ mengekspresikan pikirannya
ke dalam bentuk tulisan, karena mereka tidak bisa menyusun huruf/kata dengan
baik dan mengkoordinasikan motorik halusnya (tangan) untuk menulis. Pada
anak-anak umumnya, kesulitan ini bisa terlihat saat anak mulai belajar menulis.
Kesulitan ini tidak tergantung kemampuan lainnya. Seseorang bisa sangat fasih
dalam berbicara dan keterampilan motorik lainnya, tapi mempunyai kesulitan
menulis.
Dysgraphia/Disgrafia
adalah learning disorder dengan ciri perifernya berupa ketidakmampuan menulis,
terlepas dari kemampuan anak dalam membaca maupun tingkat intelegensianya. Jika
kita mengacu pada DSM IV, maka disgrafia diidentifikasi sebagai keterampilan
menulis yang secara terus-menerus berada di bawah ekspektasi jika dibandingkan
usia anak dan tingkat intelegensianya.Masalah
disgrafia ini sering muncul pada kalangan anak-anak yang mengalami
kesulitan dalam belajar. Disgrafia adalah maslah pembelajaran spesifik
yang berdampak pada kesulitan dalam menyampaikan hal yang ada dlam pikiran
dalam bentuk tulisan, masih belum dapat ditentukan penyebabnya dengan jelas.
Apabila anak-anak mempunyai masalah yang serius dalam hal tulisan, ia dianggap
sebagai anak penderit disgrafia. Tetapi mungkin tidak perlu memerlukan
penanganan khusus, kebanyakan anak-anak yang memiliki masalah juga mengalami
disgrafia.
Penyebab
Disgrafia
Anak-anak dengan maslah disgrafia
biasanya mempunyai masalah dalam proses informasi yang dapat menyebabkan
terjadinya masalah dalam pengamatan, yaitu anak-anak menulis dengan terbalik,
tidak menulis dengan susunan yang benar, dan bentuk tulisann yang buruk. Mereka
menghadapi masalah dalam memahami huruf dan penjelasan lisan yang berurutan,
akibatnya mereka menulis dengan perlahan dan lambat. Disamping itu merekapun
mengalami kesulitan dalam membaca struktur tulisan, seperti ejaan, tanda baca,
dan sebagainya. Mereka juga biasanya menukar-nukar huruf dengan nomor dalam
mengoprasikan rumus.
Anak-anak yang memiliki masalah dalam
konsentrasi (hyperactive atau attention deficit disorder)
biasanya mengalami kesuitan dalam emnulis, ini karena mereka juga mengalami
masalah dalam mengatur dan menyusun informasi. Mereka juga terlalu cepat dan
berkoordinasi denagn fungsi motorik halus.
Ada juga anak-anak yang mengalami
maslah disgrafia karena kelemahan dlam proses pendengaran dan berbahas,
mereka biasanya menghadapi masalah dalam ekspresi bahasa yang selanjutnya akan
menyulitkan mereka untuk mengekspresikannya dalam bentuk tulisan.
Beberapa anak mengalami gangguan dalam
menulis. Kesulitan menulis ini disebut "disgrafia". Ada beberapa ciri
khusus anak dengan gangguan disgrafia, di antaranya adalah:
a. Terdapat ketidakkonsistenan bentuk
huruf dalam tulisannya;
b. Saat menulis, penggunaan huruf besar
dan huruf kecil masih tercampur;
c. Ukuran dan bentuk huruf dalam
tulisannya tidak proporsional;
d. Anak tampak harus berusaha keras saat
mengomunikasikan suatu ide, pengetahuan, atau pemahamannya lewat tulisan;
e. Sulit memegang bolpoin maupun pensil
dengan mantap -- caranya memegang alat tulis sering kali terlalu dekat, bahkan
hampir menempel dengan kertas;
f. Berbicara pada diri sendiri ketika
sedang menulis, atau malah terlalu memerhatikan tangan yang dipakai untuk
menulis;
g. Cara menulis tidak konsisten, tidak
mengikuti alur garis yang tepat dan proporsional; dan
h. Tetap mengalami kesulitan meskipun
hanya diminta menyalin contoh tulisan yang sudah ada.
Teori konstruksi sosial Vygotsky
(Santroks:2004) memiliki tiga asumsi, yaitu:
a.
kemampuan
kognitif anak dapat dipahami hanya ketika mereka mampu menganalisa dan
menginterpretasikan sesuatu;
b.
kemampuan
kognitif anak dimediasi oleh penggunaan bahasa atau kata-kata sebagai alat
untuk mentransformasi dan memfasilitasi aktivitas mental; dan
c.
kemampuan
kognitif berkaitan dengan hubungan sosial dan latar belakang sosial budaya.
Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut,
Vygotsky mengemukakan tiga konsep belajar sebagai berikut.
a.
Zone
of Proximal Development (ZPD), yaitu suatu wilayah (range) antara level
terendah, yaitu kemampuan yang dapat diraih anak jika tanpa bimbingan, hingga
level tertinggi, yaitu kemampuan yang dapat diraih anak jika dengan bimbingan.
b.
Scaffolding,
yaitu teknik untuk mengubah tingkat dukungan.
c.
Language
and thought.
Aplikasi teori Vygotsky dapat digunakan
guru dan orang tua untuk membantu anak yang mengalami disgrafia.
Langkah-langkah yang dapat dilakukan
meliputi:
a.
Mengidentifikasi
masalah disgrafia, terdiri dari:
o masalah penggunaan huruf kapital,
o ketidakkonsistenan bentuk huruf,
o alur yang tidak stabil (tulisan naik
turun), dan
o ukuran dan bentuk huruf tidak
konsisten.
b.
Menentukan
ZPD pada masing-masing masalah tersebut.
o ZPD untuk kesalahan penggunaan huruf
kapital.
o ZPD untuk ketidakkonsistenan bentuk huruf.
o ZPD untuk ketidakkonsistenan ukuran
huruf.
o ZPD untuk ketidakstabilan alur tulisan.
c.
Merancang
program pelatihan dengan teknik scaffolding. Teknik scaffolding dalam pelatihan
ini meliputi tahapan sebagai berikut.
o Memberikan tugas menulis kalimat yang
didiktekan orang tua/guru.
o Bersama-sama dengan siswa
mengidentifikasi kesalahan tulisan mereka.
o Menjelaskan mengenai pelatihan dan ZPD
masing-masing permasalahan.
o Menjelaskan kriteria penulisan yang
benar dan meminta anak menyatakan kembali kriteria tersebut.
o Memberikan latihan menulis dengan orang
tua/guru memberikan bantuan.
o Mengevaluasi hasil pekerjaan siswa
bersama-sama dengan anak.
o Memberikan latihan menulis dengan
mengurangi bantuan terbatas pada kesalahan yang banyak dilakukan anak.
o Mengevaluasi hasil pekerjaan
bersama-sama dengan anak.
o Memberikan latihan menulis tanpa
bantuan orang tua/guru.
o Mengevaluasi pekerjaan anak.
Pelatihan tersebut diulang-ulang pada
tiap-tiap kesalahan disgrafia yang dialami anak hingga terdapat perubahan.
3.
DISKALKULIA
Menurut Jacinta
F. Rini, M.Psi, dari Harmawan Consulting, Jakarta, diskalkulia dikenal juga
dengan istilah “math difficulty” karena menyangkut gangguan pada kemampuan
kalkulasi secara matematis. Kesulitan ini dapat ditinjau secara kuantitatif yang
terbagi menjadi bentuk kesulitan berhitung (counting) dan mengkalkulasi
(calculating). Anak yang bersangkutan akan menunjukkan kesulitan dalam memahami
proses-proses matematis. Hal ini biasanya ditandai dengan munculnya kesulitan
belajar dan mengerjakan tugas yang melibatkan angka ataupun simbol matematis.
Kesulitan
belajar matematika disebut juga diskalkulia (dyscalculis). Kesulitan belajar
matematika merupakan salah satu jenis kesulitan belajar yang spesifik dengan
prasyarat rata-rata normal atau sedikit dibawah rata-rata, tidak ada gangguan
penglihatan atau pendengaran, tidak ada gangguan emosional primer, atau
lingkungan yang kurang menunjang. masalah yang dihadapi yaitu sulit melakukan
penambahan, pengurangan, perkalian dan pembagian yang disebabkab adanya
gangguan pada sistem saraf pusat pada periode perkembangan. Anak berkesulitan
belajar matematika bukan tidak mampu belajar, tetapi mengalami kesulitan
tertentu yang menjadikannya tidak siap belajar. Matematika sering menjadi
pelajaran yang paling ditakuti di sekolah. Anak dengan gangguan diskalkulia
disebabkan oleh ketidakmampuan mereka dalam membaca, imajinasi,
mengintegrasikan pengetahuan dan pengalaman, terutama dalam memahami soal-soal
cerita. Anak-anak diskalkulia tidak bisa mencerna sebuah fenomena yang masih
abstrak. Biasanya sesuatu yang abstrak itu harus divisualisasikan atau dibuat
konkret, baru mereka bisa mencerna. selain itu anak berkesulitan belajar
matematika dikarenakan pengelolaan kegiatan belajar yang tidak membangkitkan
motivasi belajar siswa, metode pembelajaran yang cenderung menggunakan cara
konvesional, ceramah dan tugas. Guru kurang mampu memotivasi anak didiknya.
Ketidaktepatan dalam memberikan pendekatan atau strategi pembelajaran.
Deteksi
diskalkulia bisa dilakukan sejak kecil, tapi juga disesuaikan dengan
perkembangan usia. Anak usia 4- 5 tahun biasanya belum diwajibkan mengenal
konsep jumlah, hanya konsep hitungan Sementara anak usia 6 tahun ke atas
umumnya sudah mulai dikenalkan dengan konsep jumlah yang menggunakan simbol
seperti penambahan (+) dan pengurangan (-). Jika pada usia 6 tahun anak sulit
mengenali konsep jumlah, maka kemungkinan nantinya dia akan mengalami kesulitan
berhitung. Proses berhitung melibatkan pola pikir serta kemampuan menganalisis
dan memecahkan masalah. Faktor genetik mungkin berperan pada kasus diskalkulia,
tapi faktor lingkungan dan simulasi juga bisa ikut menentukan. Alat peraga juga
sangat bagus untuk digunakan, karena dalam matematika menggunakan simbol-simbol
yang bersifat abstrak. Jadi, supaya lebih konkret digunakan alat peraga
sehingga anak lebih mudah mengenal konsep matematika itu sendiri.
Penyebab
Diskalkulia
Masalah
diskalkulia adalah masalah yang memberi dampak terhadap operasi perhitungan
dalam matematika. Diskalkulia disebabkan oleh beberapa faktor. Diantaranyadalah
proses pengamatan., yaitu anak-anak tidak dapat mengamati nomor dan matematika
secara keseluruhan. Mereka sering mengalami masalah dalam mengenal nomor.
Masalah yang lain adalah dalam aspek penyusunan. Masalah yang disebabkan fungsi
fisiologis tubuh :
a. Diskalkulia
berkorelasi dengan luka pada area spesifik otak yaitu: supramarginal dan
angular gyri yang menjembatani lobus temporal dan parietal pada kulit otak.
b. Diskalkulia
berkorelasi dengan deficit pada kemampuan memori jangka pendek.
c.
Anak dengan gejala diskalkulia berkecenderungan
untuk memiliki anggota keluarga dengan gejala yang sama.
Penanganan
Diskalkulia
Penangani
diskalkulia dapat menggunakan terapi dan pendidikan remidial dengan tujuan
untuk menyisihkan masalah yang dihadapi sehingga dapat membantu mencapai
potensi anak secara maksimal. Sehingga menanganinya harus berdasarkan tingkat
kesulitan atau defisit yang sesuai dengan usianya.Ada beberapa hal yang dapat
dilakukan untuk menangani diskalkulia, antara lain:
a.
Gunakan gambar, grafik, atau kata-kata§ untuk membantu
pemahaman anak. Misalnya, ibu membeli jeruk seharga lima §ribu, gambarkan buah
jeruk dan uang kertas senilai lima ribu. Hubungkan konsep matematika dengan
kehidupan sehari-hari. Misalnya ketika menghitung piring sehabis makan atau
mengelompokkan benda sesuai dengan warna lalu menjumlahkannya dapat mempermudah
anak berhitung.
b.
Buat pelajaran matematika menjadi sesuatu yang menarik.
Anda bisa menggunakan media komputer atau kalkulator. Lakukan latihan secara
kontinyu dan teratur.Cara mengatasi diskalkulia bisa dengan cara mengubah
pembelajaran supaya memori bisa hidup kembali. Misalkan, penggunaan warna-warna
yang melambangkan angka. Kelainan diskalkulia juga bisa berkomplikasi dengan
kelainan lain, misalnya autis. Anak-anak dengan kesulitan belajar belum tentu
bodoh, tapi bisa jadi dia mengalami kelainan komunikasi, sosialisasi, dan
kreativitas seperti yang terjadi pada anak autis, Diskalkulia juga terkadang
dikaitkan dengan ketidakseimbangan orientasi otak kanan dan kiri yang imbasnya
menimbulkan kesulitan orientasi matematika. Aktivitas fisik diduga ada
hubungannya dengan anak yang kesulitan geometri atau bangun ruang. Ada juga
yang mengatakan bahwa diskalkulia terkait dengan kelainan pada motorik sehingga
terapi bisa diberikan untuk memperbaiki saraf motoriknya.